
Oleh: Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag (Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya dan Da'i Internasional)
Para jamaah yang berbahagia.
Sepuluh menit ke depan, saya akan menyampaikan khutbah dengan judul HAM. Bukan kepanjangan dari Hak Asasi Manusia. HAM itu penting, tapi menjadi negatif jika digunakan alasan untuk melakukan pelanggaran. Unjuk rasa yang membuat jalan macet dan menyengsarakan rakyat kecil yang sumber ekonominya bergantung pada kelancaran jalan raya dilakukan dengan alasan HAM. Mencemarkan nama baik orang, bahkan berbau fitnah dilakukan dengan alasan hak kebebasan berbicara. Lebih mengerikan lagi, para wanita pekerja seks komersial, homoseks, lesbian, perkawinan sejenis dibela mati-matian dengan alasan HAM. Na’udzu billah. Maka, HAM yang saya maskud dalam khutbah ini adalah kepanjangan dari Himar, Anjing dan Monyet.
Para hadirin Yth.
Tiga hewan itu disebut dalam kitab suci Alquran untuk menyindir kita semua. Pertama, himar atau keledai. Inilah hewan yang disebutkan dua kali dalam Al Qur’an, yaitu dalam surat Luqman ayat 19, dan surat Al Jumu’ah ayat 5. Kedua ayat tersebut mengingatkan kita untuk tidak meniru himar. Ia hewan yang hanya mengangkut setumpuk barang dan buku di punggungnya, tapi sama sekali tidak memahami apa yang sedang diangkutnya itu, juga tidak merubah perilakunya. Jika buku yang kita koleksi semakin menumpuk, dan makalah yang kita tulis juga semakin banyak, tapi semuanya itu tidak menambah kemuliaan akhlak kita, lalu apa bedanya dengan himar?
Menurut Tafsir As Shawi (3: 316), himar adalah hewan yang sering meringkik tanpa sebab apapun. Jangan menjadi himar di siang hari, dan bangkai di malam sunyi (himaran fin nahaar, wa jiifatan fill ail). Maksudnya, jangan menjadi orang yang berbicara, berteriak, dan share atau berbagi-bagi kata yang tidak bernilai di siang hari, dan tidak shalat tahajud di malam sunyi.
Kedua, anjing. Inilah hewan yang disebut dalam Alquran Surat Al A’raf ayat 176 sebagai tamsil orang-orang yang tidak pernah puas dengan pemberian Allah. Kenyang atau lapar, hewan ini tetap menjulurkan lidahnya, dan menggonggong di depan manusia (in tahmil ‘alaihi yalhats, aw tatrukhu yalhats). Jika kita tak pernah pusa, serakah, tamak, dan banyak mengeluh, maka - mohon maaf,- kita disindir Alquran manusia anjing.
Ketiga, monyet. Mengapa dalam surat Al Baqarah ayat 65, Allah mengutuk Bangsa Israil, “kuunuu qiradatan khaasi-iin (jadilah kalian monyet yang hina)?. Sebab, mereka melanggar agama dengan seribu alasan. Memang manusia disebut “alqaa ma’aadzirah,” makhluk paling cerdas membuat alasan. Bangsa Israil itu meminta Nabi Musa a.s agar Sabtu dijadikan hari libur dan diharamkan bekerja, agar bisa beribadah dengan tenang. Setelah disetujui oleh Nabi Musa a.s, mereka melanggar janji, bahkan pada hari Sabtu itu mereka beramai-ramai ke laut menangkap ikan-ikan besar yang bermunculan saat itu.
Allah kemudian merubah mereka dengan muka monyet. Sebab, mereka hanya mencibir dan tak menghiraukan nasihat Musa a.s. Menurut Ibnu Abbas a.s, mereka benar-benar berubah menjadi monyet, lalu merusak tanaman para petani. Ketika dikejar, mereka lari dengan mencibir pemilik ladang. Setelah tiga hari, semua monyet-manusia itu mati. Jika manusia terus menerus tidak menghiraukan peringatan Allah dan rasul-Nya, apa susahnya bagi Allah memberi azab seperti yang dialami umat Nabi Musa itu sekarang atau esok hari?
Kaum muslimin yang saya muliakan.
Alhamdulillah, tidak ada satupun di antara yang hadir ini terkena sindiran HAM (Himar, Ajing dan Monyet) melalui firman-firman Allah. Tapi, jika ada yang tersindir, maka jadikan Jum’at ini hari pembebasan dari sifat-sifat hewan HAM, dan hari perubahan menuju kemuliaan. Allah Maha Baik, pasti menolong hamba-Nya yang ingin berubah menjadi lebih baik. Kita harus berubah setiap selesai beribadah. Jangan sampai kita aktif ke masjid, sedangkan iman kita tetap beku, tak berubah seperti mayit.
Khotbah Jumat, 08 Maret 2019 di Masjid Raya Ulul Albab UIN Sunan Ampel SUrabaya.
Oleh: Drs. H. Sumarkan, M.Ag (Dosen Fakultas Syariah dan Hukim/Ketua LDNU Jawa Timur)
Cukup banyak nikmat yang diberikan oleh Allah SWt. Sehingga kita sulit menghitung-Nya. Tapi, kita wajib bersyukur kepada-Nya, dan semoga kehadiran kita memenuhi perintah-Nya untuk mengerjakan sholat Jum'at betul-betul wujud dari bersyukur kepada-Nya sehingga diterima sebagai amalan terbaik.
Hadirin Sidang Jumat
Yang dimuliakan oleh Allah SWT.
Salah satu sifat dan akhlak agung dimiliki oleh Nabi Muhammad Saw. adalah sikap lemah lembut dan penuh kasih sayang. Sifat ini senantiasa terpraktikkan sepanjang hidupnya, baik kepada umat Islam maupun Non-Muslim. Banyak bukti normatif dan cerita-cerita yang mencatat sepanjang hidup Nabi Muhammad.
Pastinya, sikap welas asih dan penuh kasih sayang merupakan nilai luhur yang terpraktikkan menghiasi proses Nabi Muhammad dalam mendakwahkan Islam. Allah menegaskan dalam sebuah firmanNya surat Ali Imran ayat 159:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ.
Secara bebas ayat ini diartikan: "Dengan rahmat Allah, kamu bersikap lembut kepada mereka. Jika kamu kasar atau emosi, niscaya mereka semakin lari untuk menghindar. Maka ampuni mereka, mintakan istighfar untuk mereka, dan selanjutnya bertawakallah kamu dalam setiap tindakan kepada Allah Swt".
Ayat ini sangat jelas bagaimana Allah mengajarkan kepada Nabi tentang prinsip-prinsip lemah lembut dalam berdakwah. Jangan lakukan dakwah dengan keras sebab yang mendengar atau audiennya akan lari. Dan nilai dakwah kurang memberikan makna kebaikan.
Dalam konteks ini, fenomena maraknya dakwah-dakwah kasar di era medsos sejatinya bertentangan dengan spirit luhur cara berdakwah ala Nabi Muhammad. Para pendakwah yang menggunakan kata-kata kasar seringkali mengedepankan nafsunya. Dan lebih parah lagi, menggunakan kesucian teks-teks al-Quran dan hadith Nabi sebagai tameng untuk membenarkan tindakan dan ucapannya. Padahal, sikap yang dilakukan menyakiti pihak lain, yang dilarang oleh Islam. Sungguh terlalu, Islam hanya sebagai kedok belaka untuk pembenar tindakannya.
...........
Sikap lemah lembut Nabi Muhammad, misalnya terpraktikkan dalam cerita orang Yahudi yang menagih hutang kepada Nabi Muhammmad dengan nada keras dan bentak-bentak di depan para sahabat. Karena Nabi Muhammad di bentak, seraya Umar ibn Khattab bangun memarahi dengan keras orang Yahudi sebab tidak terima perlakukan keras yang dilakukannya kepada Nabi Muhammad.
Sikap Umar yang kasar kepada orang Yahudi menjadi sebab Nabi Muhammad harus menasehatinya agar berhenti bersikap kasar. Setelah itu, Umar disuruh melunasi hutang tersebut, sekaligus menambah dengan jumlah lebih. Maksudnya, yang lebih sebagai konfensasi/ganti rugi sikap kasar Umar terhadap orang Yahudi yang memberikan hutangan, meskipun sikap Yahudi berlebihan sebab hutang itu belum jatuh tempo untuk dilunasi sesuai dengan perjanjian.
Tapi, begitulah sikap Nabi Muhammad selalu mendahulukan sikap lembut, dari pada menebarkan amarah dan kebencian kepada orang lain (hilmuhu yasbiqu ghadabahu). Jadi, jalan dakwah dengan kasar dan marah-marah adalah jalan kesesatan sebab bertentangan dengan maksud taktik dakwah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad.
Pada akhirnya, mari renungkan sebuah hadith berikut ini, untuk memperkuat posisi lemah lembutnya Nabi Muhammad:
انِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَاِنَّمَا أُبْعَثُ رَحْمَةً.
."Sesungguhnya aku tidak diutus untuk melaknat (mencaci maki). Tapi diutus untuk memberikan kasih sayang".
Hadith, yang diriwayatkan oleh imam Muslim ini patut menjadi landasan pula agar kita tidak mudah menyakiti sesama. Terkhusus, kepada para juru dakwah gunakan dakwah-dakwah yang sejuk agar makna Islam sebagai agama rahmah terwujud. Jangan rusak visi Islam dengan amarah dan kebencian, hanya karena menuruti nafsu duniawi.
Semoga Allah memberikan petunjuk pada kita semua agar senantiasa berbuat baik dan welas asih kepada sesama. Amin..
Intisari Khotbah Jumat, 1 Maret 2019 di Masjid Raya Ulul Albab UIN Sunan Ampel Surabaya
Oleh: Dr. Sanuri, S.Ag., M.Fil.I (Dosen Fakultas Syariah dan Hukum)
Kita patut bersyukur kepada Allah SWT atas segala nikmat dan hidayah-Nya sehingga kita dengan ringan kaki dapat melaksanakan perintahNya, yakni sholat Jum’at. Betapa banyak orang di saat yang sama tidak bisa melaksanakan perintah-Nya disebabkan tidak mendapat hidayahNya, pada mereka dalam keadaan sehat.
Kaitannya dengan hidayah ini, saatnya melalui khutbah ini mari kita renungkan ayat berikut ini:
وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِۦ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ ٱللَّهُ مَن يَشَآءُ وَيَهْدِى مَن يَشَآءُ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ
Artinya: Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
فَاِنَّ اللّٰهَ يُضِلُّ مَنۡ يَّشَآءُ وَيَهۡدِىۡ مَنۡ يَّشَآءُ
Artinya: Maka sesunggunya menyesatkan orang yang dikehendaki, dan memberikan hidayah kepada yang dikehendaki.Top of Form
Bottom of Form
Dua ayat di atas menegaskan tentang masalah petunjuk atau hidayah Allah, sekaligus memastikan bahwa Allah menampakkan sifat Jabbar-Nya dalam memberikan petunjuk atau kesesatan. Artinya, manusia ditempatkan sebagai majbur atau yang dipaksa tunduk terhadap putusanNya.
Karenanya, agar tidak terjadi ekstrem pemahaman, kalangan Asy’ariyah memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki hak prerogatif untuk menyesatkan manusia, sekaligus memberikan hidayah-Nya. Tapi, manusia diberi hak untuk berusaha dan keputusan akhir ada kepada-Nya. Manusia harus berdoa dengan serius, keputusan dikabulkan atau tidaknya adalah hal prerogatif Allah.
Pada kesempatan yang berbeda di Surat al-Qashash; 56 Allah mengingatkan:
إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya: Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.
Ayat ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw. saja tidak bisa memberikan petunjuk kepada Abu Thalib, apalagi umatnya. Tugas Nabi Muhammad—termasuk kita sebagai umatnya-- hanya mengajak kebaikan atau tabligh, selebihnya hidayah adalah otoritas Allah.
Dengan begitu, maka tidak ada jaminan orang memperoleh hidayah selamanya, sekalipun pada saat yang sama ia tekun beribadah kepada-Nya. Kita banyak menyaksikan, orang yang awalnya tekun beribadah kepada Allah. Eee pada akhir kehidupannya dalam kesesatan. Atau sebaliknya, tidak sedikit orang yang awalnya berlumuran dosa karena kemaksiatan yang dilakukan, eee ternyata pada akhirnya ia mendapat hidayah-Nya sehingga tergerak dalam mengikuti perintah-Nya dan istiqamah menjahui larangan-Nya. Lebih dari itu, kita semua yang setiap hari belajar agama, juga tidak ada jaminan selamanya dapat hidayah-Nya sebab sekali lagi tetapnya hidayah adalah otoritas tunggal Allah.
Pada akhirnya, kita hanya dianjurkan oleh Allah agar terus berusaha semaksimal mungkin dalam kebaikan, sekaligus berdoa tiada henti agar hidayah-Nya terus tumbuh dalam diri kita sehingga kita tergerak menjalankan perintah dan menjahui larangan-Nya. Surat al-Fatihah yang kita baca setiap mengerjakan sholat juga layak kita renungkan betapa do’a itu penting agar kita terus mendapat hidayahNya, اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ. Semoga kita terus mendapat hidayah-Nya. Amin ya rabbal alamin.
Intisari Khotbah Jumat, 28 Desember 2018 di Masjid Raya Ulul Albab UIN Sunan Ampel Surabaya